perang Aceh – Sejarah Lengkap Sejarahwan Sat, 18 Jan 2020 04:27:15 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.3.2 Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda /indonesia/kemerdekaan/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda-2 Sat, 18 Jan 2020 04:27:14 +0000 /?p=5476 Perang Aceh adalah salah satu dari banyaknya perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda yang terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873 – 1904 adalah perang…

The post Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perang Aceh adalah salah satu dari banyaknya perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda yang terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873 – 1904 adalah perang antara Kesultanan Aceh melawan Belanda.

Pernyataan perang Belanda terhadap Aceh terjadi pada 26 Maret 1873 dan mulai menembakkan meriam dari kapal perang Citadel van Antwerpen ke daratan Aceh. Sejarah perang Aceh menjadi peperangan yang paling lama dan besar yang pernah dilakukan bangsa Indonesia.

Bahkan setelah Kesultanan Aceh menyatakan menyerah pada 1904, perlawanan secara gerilya dan acak masih dilakukan oleh rakyat Aceh sehingga total waktu peperangan sebenarnya memakan waktu 69 tahun sejak 1873 – 1942.

Konon dalam sejarah perang Aceh menelan korban hingga 100 ribu orang dari kedua pihak sejak penyerbuan Belanda di Pantai Ceureumen pada April 1873.

Pada penyerbuan yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler yang langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman tersebut, konon sekitar 37.500 orang dari pihak Belanda tewas, 70.000 orang dari Aceh tewas dan 500.000 orang mengalami luka – luka.

Perjanjian Belanda dan Inggris Raya

Pada tahun 1824 Belanda dan Britania Raya mengadakan perjanjian London mengenai batas – batas kekuasaan di Asia Tenggara mengacu pada garis lintang Singapura. Kedua negara tersebut mengakui kedaulatan Aceh dalam perjanjian.

Namun pada 1858 Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal semua daerah tersebut telah menjadi wilayah kekuasaan Aceh sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa.

Aceh kemudian menuduh Belanda tidak menepati janji sehingga menenggelamkan kapal – kapal Belanda yang lewat perairan wilayah Aceh. Perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan sejak dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps.

Kemudian perjanjian London 1871 kembali disepakati antara Inggris dan Belanda. Isi perjanjian tersebut bahwa Britania tidak keberatan pada tindakan Belanda untuk memperluas dominasinya di Sumatera dan membatalkan perjanjian tahun 1824.

Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas di Selat Malaka, dan mengizinkan Britania bebas untuk berdagang di Siak, juga menyerahkan wilayah Guyana Barat kepada Britania. Aceh kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura, dan mengirim utusan ke Turki Utsmani pada 1871.

Kegiatan diplomatik Aceh tersebut justru dijadikan alasan bagi Belanda untuk melakukan penyerangan ke Aceh. Walaupun Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen datang ke Aceh dengan membawa dua kapal perang, Sultan Mahmud Syah menolak menghentikan usaha diplomatiknya sehingga memicu pernyataan perang yang pada akhirnya menjadi penyebab perang Aceh dari Nieuwenhuijzen.

Terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh terjadi dalam beberapa fase sepanjang puluhan tahun tersebut seperti berikut ini:

  • Perang Aceh Pertama (1873 – 1874)

Perang ini dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, melawan Belanda yang berada di bawah kepemimpinan Mayr Jenderal Kohler. Mereka dapat mengalahkan Kohler dan 3000 orang prajuritnya, bahkan Kohler tewas pada 14 April 1873. Perang lalu berkecamuk di mana – mana sepuluh hari setelahnya.

Perang paling besar terjadi untuk merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman bersama bantuan dari beberapa kelompok pasukan dari Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya. Pasukan Belanda lalu dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Swieten.

  • Perang Aceh Kedua (1874 – 1880)

Sejarah perang Aceh memasuki babak kedua dimana Belanda dibawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874. Keraton dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda, untungnya sebelum itu Sultan dan keluarganya sudah melarikan diri ke Lheungbata.

KNIL mengumumkan perang kedua pada 20 November 1873 sesudah kegagalan pada perang pertama. Belanda pada saat itu sedang mencoba menguasai seluruh Indonesia, bergerak pada November 1873 – April 1874. Pada bulan Januari 1874 Belanda berpikir bahwa mereka sudah menang perang sehingga mengumumkan pembubaran Kesultanan Aceh.

Namun pihak Aceh masih melawan, walaupun Sultan Mahmud Syah dan pengikutnya telah melarikan diri ke bukit dan Sultan meninggal akibat kolera pada 26 Januari 1874. Para ulama Aceh membentuk pasukan Jihad dipimpin Teuku Cik Di Tiro, sedangkan rakyat membentuk pasukan besar dibawah pimpinan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.

Ketiganya kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional dari Aceh. Tuanku Muhammad Daud Syah yang masih belia kemudian diumumkan sebagai Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1874 – 1903) dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Perang Aceh Ketiga (1881 – 1899)

Dalam sejarah perang Aceh ketiga, perang dilanjutkan melalui cara gerilya berupa perang fisabilillah. Perang gerilya berlangsung hingga 1903, yang dipimpin Teuku Umar, Panglima Polim dan Sultan Aceh. Teuku Umar terus memimpin serangan ke pos – pos Belanda hingga dapat menguasai Meulaboh pada 1882.

Belanda sampai menggunakan pasukan khusus bernama Korps Marechaussee te Voet, tentara kerajaan Hindia Belanda. Mereka bukan tentara Belanda asli melainkan para serdadu bayaran Indonesia yang berasal dari Jawa serta Maluku yang sudah dilatih oleh Belanda.

Penyerbuan terus dilakukan ke daerah – daerah kekuasaan Belanda. Pada tahun 1899 pasukan Aceh diserang mendadak oleh pihak Van der Dussen di Meulaboh dan Teuku Umar gugur. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan perjuangan sebagai komandan gerilya, seperti penyebab peristiwa Aceh 1990 dan bangunan bersejarah di Aceh.

Siasat Curang Belanda

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje diutus oleh Belanda untuk menyusup ke masyarakat Aceh dan menyamar selama 2 tahun. Sebelumnya ia diharuskan mempelajari tentang Islam selama beberapa waktu sehingga fasih berbahasa Arab. Hasil pengamatannya ia gunakan untuk memberi rekomendasi kepada pasukan Belanda mengenai bagaimana cara mengalahkan rakyat Aceh.

Ia mengusulkan kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz (1898 – 1904) agar Sultan dan pengikutnya yang berkedudukan di Keumala diabaikan dulu dan memfokuskan siasat dengan menyerang kaum ulama.

Ia juga mengatakan agar jangan berunding dengan para pemimpin gerilya, mendirikan pangkalan di Aceh Raya, dan menunjukkan niat baik dengan mendirikan mushala, langgar, masjid, memperbaiki sistem pengairan, dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Usulan ini diterima oleh Van Heutz yang mengangkat Snouck sebagai penasihatnya.

Van Heutz meniru taktik perang rakyat Aceh secara gerilya dan pasukan Marechaussee pimpinan Hans Christoffel hingga mereka menguasai pegunungan dan hutan rimba raya Aceh selagi mencari para gerilyawan Aceh. Berikutnya Belanda menculik salah satu anggota keluarga pejuang Aceh, seperti penculikan permaisuri Sultan dan Tengku Putroe pada 1902.

Putera Sultan Tuanku Ibrahim ditawan oleh Van der Maaten hingga Sultan menyerah pada 5 Januari 1902. Belanda juga menangkap putra Panglima Polim, Cut Po Radeu, dan beberapa keluarga terdekat Panglima Polim sampai menyerah pada Desember 1903. Setelah itu, banyak para pemimpin rakyat yang ikut menyerah.

Taktik Belanda yang paling kejam dalam sejarah perang Aceh terjadi ketika dilakukan pembunuhan rakyat Aceh yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, pengganti Van Heutz. Terjadi pembunuhan terhadap 2.922 orang di Kuta Reh dengan rincian 1.773 lelaki dan 1.149 wanita.

Cut Nyak Dhien juga berhasil ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Van Heutz sebelumnya telah menyiapkan traktat pendek yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang menyerah.

Dalam perjanjian tersebut, Sultan Aceh mengakui bahwa daerahnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan lain di luar negeri, mematuhi seluruh perintah Belanda. Sultan Muhammad Dawood Syah kemudian diasingkan ke Batavia dan meninggal 6 Februari 1939, dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Sejarah perang Aceh melawan Belanda menurut sejumlah sumber berlangsung hingga tahun 1904, yaitu hingga runtuhnya sejarah kerajaan Aceh. Namun berbagai perlawanan masih tetap dilakukan rakyat Aceh secara kelompok dan perorangan hingga menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia.

The post Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
5 Penyebab Perang Aceh (1873) dan Akibatnya /indonesia/penyebab-perang-aceh Tue, 02 Jul 2019 10:10:00 +0000 /?p=4565 Perang Aceh terjadi selama hampir tiga puluh tahun, yakni tahun 1874 – 1904. Perang Aceh ini telah memakan banyak korban jiwa. Secara garis besar, terdapat dua penyebab Perang Aceh yakni…

The post 5 Penyebab Perang Aceh (1873) dan Akibatnya appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perang Aceh terjadi selama hampir tiga puluh tahun, yakni tahun 1874 – 1904. Perang Aceh ini telah memakan banyak korban jiwa. Secara garis besar, terdapat dua penyebab Perang Aceh yakni sebab umum dan sebab khusus.

Sebab Khusus Perang Aceh

Sebab khusus Perang Aceh diawali dengan Belanda yang menuntut agar Aceh mengakui kedaulatannya pada tanggal 22 Maret 1873. Tuntutan tersebut ditolak oleh Aceh. Belanda pun menyatakan perang terhadap Aceh yang ditandai dengan penembakan meriam dari kapal perang bernama Citradel Van Antwerpen ke daratan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Baca juga sejarah Partai Aceh, bangunan bersejarah di Aceh, sejarah Museum Tsunami Aceh, dan sejarah Museum Aceh.

Sebab Umum Perang Aceh

Selain sebab khusus, secara umum ada beberapa penyebab Perang Aceh. Sebab umum Perang Aceh akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini:

  1. Kecurigaan pihak Belanda kepada Kerajaan Aceh

Pihak Belanda mencurigai adanya kerjasama politik antara Kerajaan Aceh dengan Singapura, Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Dengan adanya Perjanjian Sumatra 1871, Aceh pun menjalin hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh pun bahkan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.Upaya diplomatik tersebut pun dijadikan Belanda sebagai alasan untuk menyerang Aceh.

2. Letak Aceh yang strategis sebagai jalur pelayaran internasional

Aceh memiliki letak yang strategis, yakni sebagai jalur pelayaran internasional yaitu di Selat Malaka. Pembukaan Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.

3. Pelanggaran Perjanjian London 1824 oleh Belanda

Pelanggaran Perjanjian London tahun 1824 ialah upaya Belanda untuk menguasai Aceh. Perjanjian London adalah perjanjian bilateral antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini bertujuan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakukan Perjanjian Britania-Belanda 1814. Perjanjian London menjelaskan bahwa kedua negara diizinkan untuk tukar menukar wilayah pada British India, yakni Ceylon (Sri Lanka) dan Indonesia. Hal ini didasarkan kepada negara yang paling diinginkan. Namun, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang ditetapkan secara lokal. Peraturan tersebut antara lain

  • pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada kapal dan barang dari negara lain
  • tidak membuat perjanjian dengan negara bagian Timur yang tidak mengikusertakan atau membatasi perjanjian dagang dengan negara lain
  • tidak menggunakan kekuatan militer ataupun sipil untuk menghambat perjanjian dagang.
  • melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengizinkan penjualan dari barang-barang bajakan
  • pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seizing dari pemerintah masing-masing di Eropa.

4. Akibat dari Perjanjian Siak 1858

Penyerahan wilayah Asahan, Deli, Serdang, dan Langkat karena adanya Perjanjian Siak 1858. Akibat perjanjian tersebut maka Sultan Ismail menyerahkan beberapa wilayah tersebut kepada Belanda. Belanda melanggar perjanian tersebut, maka berakhirlah Perjanjian London Tahun 1824.

5. Penenggelaman kapal-kapal Belanda oleh pasukan Aceh

Belanda beranggapan bahwa kapal-kapalnya sering diganggu di Selat Malaka, bahkan hingga ditenggelamkan. Aceh melakukan hal ini karena menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Aceh pun ditenggelamkan oleh Pasukan Aceh. Hal ini didukung oleh Britania.

Periode Perang Aceh

Perang Aceh secara garis besar terbagi menjadi 4 periode. Empat periode Perang Aceh yakni sebagai berikut:

  • Periode Pertama (1873 – 1874)

Perang Aceh periode pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipmpin Kohler. Kohler bersama dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan. Kohler pun tewas pada tanggal 14 April 1873. Setelah sepuluh hari, perang terjadi dimana-mana. Perang paling besar adalah saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Perang terjadi di Peukah Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang berdatangan dari Pidie, Teunom, Peusangan, dan beberapa wilayah lainnya.

  • Periode Kedua (1874 – 1880)

Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874. Sultan beserta keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Leungbata. Keraton pun akhirnya dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Jenderal van Swieten pada 31 Januari 1874 mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Sultan Mahmud Syah yang wafat pada 26 Januari 1874 digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood. Beliau dinobatkan sebagai Sultan di Masjid Indrapuri. Perang Aceh pada periode pertama dan keuda merupakan perang total dan frontal. Pemerintahan Aceh masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

  • Periode Ketiga (1881 – 1896)

Periode ketiga dari Perang Aceh dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Sistem perang gerilya ini dilangsukan sampai tahun 1903. Pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar, Panglima Polim, dan Sultan. Belanda menduga perang telah usai karena telah berhasil menduduki istana. Namun, di luar sana para ulama dan bangsawan tetap siap bertempur. Mereka bersama-sama terus berjuang menggembelng pasukan jihad yang dipimpin oleh Tengku CIk Ditiro.

Rakyat Aceh bangkit kembali dengan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya yakni Cut Nyak Dhien. Teuku Umar menyerang pos-pos Belanda dan berhasil menguasai Meulaboh pada tahun 1882. Teuku Umar juga menyerang kapal Hok Canton pada tanggal 14 Juni 1886 yang berlabuh di Rigarh. Belanda merasa kewalahan menghadapi perjuangan rakyat Aceh yang menggelora. Pihak Belanda pun menerapkan berbagai strategi untuk meredam hal tersbeut. Merekea menerapkan strategi seperti konsentrasi stelsel dan adu domb. Namun, kedua siasat tersebut mengalami kegagalan.

Belanda akhirnya mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kehidupan dan struktur masyarakat Aceh. Dr. Snouck menyamar dengan nama Abdul Gofar dan berhasil menyelidiki kelemahan masyarakat Aceh. Hal ini kemudian dituangkan dalam sebuah buku berjudul De Aljehers. Saat terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen tahun 1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur dalam peperangan. Namun, Cut Nyak Dhien yang merupakan istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komanda perang gerilya.

  • Periode Keempat (1896 – 1910)

Periode keempat dari Perang Aceh dilakukan dengan perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan. Selain itu, perang pun dilakukan dengan penyerbuan, penghadangan, dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan. Baca juga peninggalan Kerajaan Aceh, sejarah Kerajaan Aceh, silsilah Kerajaan Aceh, dan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Akhir Perang Aceh

Akhir Perang Aceh ditandai dengan Belanda yang meniru taktik perang gerilya Aceh. Taktik perang gerilya ini ditiru oleh Van Heutz. Beliau membenuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik selanjutnya yang diterapkan oleh Belanda adalah dengan cara menculik anggota keluarga gerilyawan Aceh. Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten pun melakukan penawanan terhadap Sultan Tuanku Ibrahim. Sultan pun menyerah pada 5 Januari 1902 ke Sigil dan berdamai.

Van der Maaten secara diam-diam menyergap Tangse kembali. Panglima Polim dapat melarikan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu yakni saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Panglima Polim pun menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah itu, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik lainnya adalah dengan pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh. Hal ini dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Pembunuhan ini mirip seperti yang terjadi di Kuta Reh (14 Juni 1904), yakni sebanyak 2.922 orang dibunuh yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir adalah dengan menangkap Cut Nyak Dhien yang masih melakukan perlawanan secara gerilya. Pada akhirnya, Cut Nyak Dhien pun dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Baca juga pahlawan nasional wanita, biografi Cut Nyak Dhien, dan pahlawan nasional dari Sumatera.

Van Heutz telah menciptakan surat pendek atau korte verklaring atau Traktat Pendek. Surat pendek ini adalah tentang penyerahan yang harus ditandatangani ole para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Surat pendek ini berisikan bahwa:

  • Raja atau Sultan mengakui daerahnya sebagai bagian dari Hindia Belanda
  • Raja berjanji bahwa tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri
  • Raja berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda

Perjanjian pendek ini pun menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang panjang dan rumit dengan para pemimpin setempat. Namun, tidak semua wilayah Aceh dikuasai oleh Belanda seluruhnya. Perlawanan terhadap Belanda tetap saja terjadi meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Perlawanan tersebut terus berlanjut hingga Belanda pergi dari Nusantara dan digantikan oleh kedatangan penjajah baru, yakni Jepang atau Nippon.

Inilah penjelasan mengenai penyebab perang Aceh secara khusus dan umum. Pemaparan mengenai sejarah Perang Aceh melawan Belanda mulai dari penyebab, periode peperangan, dan akhir Perang Aceh dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Semoga bermanfaat.

The post 5 Penyebab Perang Aceh (1873) dan Akibatnya appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda yang Melegenda /indonesia/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda Mon, 03 Dec 2018 08:07:10 +0000 /?p=1634 Selama Belanda menjajahi Indonesia, perang melawan Aceh merupakan perang terbesar dan terlama yang pernah dilakukan. Perang ini berlangsung selama 69 tahun dari 1873 – 1942 dan telah menelan korban lebih…

The post Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda yang Melegenda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Selama Belanda menjajahi Indonesia, perang melawan Aceh merupakan perang terbesar dan terlama yang pernah dilakukan. Perang ini berlangsung selama 69 tahun dari 1873 – 1942 dan telah menelan korban lebih dari 100.000 dari kedua belah pihak. Sejak dimulainya serangan Belanda pada tanggal 6 April 1873, perang ini telah menewaskan 37.500 orang dari pihak Belanda dan 70.000 orang dari pihak Aceh dengan sekitar 500.000 orang yang mengalami luka-luka. Simak juga masa kolonial Eropa di Indonesia.

Seorang komandan militer Belanda, Zentgraaff, menulis buku yang berjudul Atjeh. Di dalam bukunya pada halaman 1 dan 63, ia menyatakan ketakjubannya mengenai orang Aceh:

“Orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita sangat gigih dalam memperjuangkan agama kepentingannya. Dari semua pemimpin peperangan yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”

Selain itu, seorang jurnalis Eropa bernama Paul van Veer, juga menuliskan buku mengenai bangsa Aceh dengan judul De Atjeh-oorlong. Pada halaman 301, ia menulis:

“Aceh adalah derah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada ahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari cukup.”

Latar Belakang Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda

Semua peperangan terjadi karena suatu alasan dan ada latar belakang yang memicu peperangan ini terjadi seperti sejarah perang Arab Israel dan sejarah perang Banjar. Pada perang Aceh melawan Belanda, ada beberapa alasan yang menyebabkan Belanda menyerang tanah Aceh pada tahun 1873, yaitu sebagai berikut:

  • Belanda menduduki Siak dan akibat adanya perjanjian SIak 1858, Sultan Ismail menyerahakn area Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada pihak Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut sudah berada di kekuasaan Aceh semenjak masa Sultan Iskandar Muda.
  • Belanda melanggar Siak, dan menyebabkan berakhirnya perjanjian London, dimana Belanda dan Inggris membuat ketentuan mengenai batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara. Maka dari itu, kedua negara sekarang mengakui kedaulatan Aceh.
  • Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, maka bangsa Aceh menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Aceh.
  • Pembukaan terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep dan menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai lalu lintas perdagangan.
  • Perjanjian Sumatera 1871 dibuat antara Inggris dan Belanda, dimana isinya berupa Inggris memberikan keleluasaan pada Belanda untuk bertindak di Aceh. Selain itu, Belanda juga harus menjaga keamanan lalu lintas Selat Sumatera, mengizinkan Inggris untuk berdagang secara bebas di Siak, dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat pada Inggris.

Dari latar belakang yang telah disebutkan, ada latar belakang khusus terjadinya perang Aceh, dimana hal ini terjadi sebelum terjadinya peperangan. Karena adanya Perjanjian Sumatera tersebut, Belanda menjadi semena-mena dalam mengambil tindakan di Aceh. Karena ambisi Belanda yang ingin menguasai Aceh, Belanda tidak segan lagi menuntut Aceh untuk tunduk kepada Belanda. Tuntutan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Mahmud Syah serta menolak seluruh tuntutan Belanda. Hingga pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda mendeklarasikan perang terhadap Aceh.

Kronologi Terjadinya Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda

  • Tahun 1873 – 1899

Serangan pertama Belanda kepada Aceh dilakukan dengan datangnya pasukan dan kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Ia menargetkan serangan pertama pasukan mereka ke Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pasukan Aceh dengan gencar menyambut dan melawan pasukan Belanda. Hingga pada 14 April 1873, Kohler tewas tertembak oleh rakyat Aceh dan pasukan Belanda dapat dihanurkan.

Setelah kematian Kohler, pasukan Belanda kembali menyerang Aceh dengan Mayor Jenderal Van Swiyten sebagai pemimpinnya. Mereka terus menerus menebak meriam ke pasukan Aceh dan akhirnya Aceh terdesak untuk mengosongkan istana. Hasilnya, pasukan Belanda menduduki istana sementara keluarga dan kerabat Kerajaan melarikan diri ke daerah Lheunbata.

Tetapi, bangsa Aceh tidak pantang menyerah dalam memperjuangkan kebebasannya. Setelah istana diduduki oleh Belanda, pasukan ulama dan bangsawan Aceh sudah siap untuk bertempur. Pasukan ulama yang bernama Pasukan Jihad, dipimpim oleh Teuku Cik Di Tro. Sedangkan rakyat Aceh dikumpulkan dan membuat pasukan besar dengan Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, sebagai pemimpinnya. Serangan yang dipimpim Teuku Umar dilancarkan ke pos-pos Belanda hingga pada tahun 1882, pasukan Aceh dapat menguasai Meulaboh. Lalu pada 1886, pasukan Aceh juga langsung menyerang kapal Hock Canton yang baru saja berlabuh. Semakin hari, Belanda semakin kewalahan dan dihantui terror dari pasukan rakyat Aceh. Simak juga sejarah berdirinya Al Washliyah.

Berbagai taktik telah dilakukan oleh pasukan Belanda untuk memukul mundur bangsa Aceh seperti taktik Stelsel dan adu domba, seperti halnya sejarah perang Padri, namun taktiknya selalu gagal. Seorang Jenderal Belanda bernama Jenderal Deyckerhoff bergagasan untuk menggunakan politik Devide At Impera untuk mempengaruhi Teuku Umar. Tetapi, keadaan politik tersebut dimanfaatkan oleh Teuku Umar, dimana beliau berpura-pura menyerah dengan maksud untuk mendapatkan senjata dari Belanda.

Rencana dan usaha Teuku Umar tidak sia-sia, karena atas kepercayaan Jenderal Deyckerhoff, Teuku Umar diberi kepercayaan dan kekuasaan atas pasukan dan senjata lengkap Belanda untuk menyerang benteng Aceh. Sasaran Belanda selalu dikosongkan atas perintah Teuku Umar yang mengetahui semua rencana Belanda dan setelah mendapatkan persediaan senjata yang cukup, Teuku Umar pun berbalik menyerang Belanda. Karena dinilai gagal, Jenderal Deyckerhoff digantikan dengan Van Heutz pada tahun 1899.

  • Tahun 1899 – 1942

Serangan Van Huetz sangat membabi buta pada bulan Februari 1899 dan membuat pasukan Aceh terdesak. Aceh harus mundur sampai daerah Meulaboh dan pada serangan tersebut, tepatnya tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran.

Tetapi pasukan lain juga pantang menyerah meskipun Teuku Umar sudah tiada. Pasukan pimpinan Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah terus menerus menggencarkan serangan pada pasukan Belanda dengan berpindah-pindah daerah sampai bertahan di bentang Batlelile. Pada Januari 1901, Van Heutz menyerang secara besar-besaran pada pasukan Aceh dan memaksa Aceh untuk mundur dari benteng, sehingga Belanda berhasil menguasai benteng Batlelile.

Perang terus berlanjut hingga tahun 1903 dimana beberapa kerabat Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polim ditawan Belanda, sehingga menyebabkan mereka menyerah. Perjuangan rakyat Aceh diteruskan oleh Cut Nyak DIen dan Cut Meutia, dimana akhirnya Cut Nyak Dien tertangkap dan diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dien wafat di Sumedang pada tanggal 6 November 1908 dan Cut Meutia gugur dalam pertempuran di Hutan Pasai pada tanggal 1913.

Meskipun Sultan Muhammad Daud Syah menandatangani Surat Perjanjian Plakat Peudele, yang berarti Kesultanan Aceh tunduk pada Belanda, perjuangan Aceh tidak berhenti disitu. Dari tahun 1914, Aceh masih melakukan perlawanan hingga tahun 1942, ketika penjajah Belanda angkat kaki dari Aceh sebagai salah satu sejarah berdirinya Indonesia. Dan puluhan pertempuran Aceh yang terjadi telah diketahui di seluruh Hindia Belanda.

Perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia masih dikagumi hingga sekarang. Karena tanpa kegigihan mereka melalui Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, mungkin Indonesia akan lebih kesulitan untuk meraih kemerdekaan. Semoga informasi ini bermanfaat.

The post Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda yang Melegenda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>